hey heygue mau nulis nih disini hehehe maaf yaw kalo jelek -_- Romeo..
“sheriin” rena mulai teriak-teriak norak di dalam kelas.
“hm?”jawabku cuek
“ liat nih new magazine yang gue bawa. Ada romeo, ganteng banget kan sher?”
“apa isinya emang?” tanyaku tanpa peduli.
“dia pernah tinggal di indonesia lho”
“terus? Penting buat hidup gue?”
“oke gue tau lo cuma peduli sama riko kaan?” rena mulai menggoda.
“berisik lo ah” kataku dengan sedikit senyum tersungging di bibir.
Selesai sekolah, aku putuskan untuk segera pulang dan menunda bermain dengan teman-teman yang lain. Hari ini cuaca mendung, aku melangkahkan kaki sambil melihat ke bawah. kepalaku pusing sejak pelajaran fisika tadi dan sekarang tatapan mataku menjadi oleng badanku lemas dan “aaaaaaa”
“awaaas”
1..2..3..4..5.. hap
Pria tinggi menatapku dengan wajah khawatir, ia mengerlingkan matanya tanda dia telah berhasil menolongku dengan sejuta pesonanya.
“lo gapapa kan sher?”
“hah?”aku masih menatapnya kagum. Segera aku berdiri tegap sendiri tanpa bantuannya.
“thanks rik..”
“rikooooo” suara nyaring fina membuat kupingku ingin pecah.
“gue tinggal ya sher” riko melangkah pergi mendekati fina si centil kelas ikan bawal. Aku hanya mengangguk dengan sedikit senyuman terhias.
***
Hujan mulai turun dengan deras. Hal itu membuatku harus berteduh di halte dekat sekolah. “coba gue bawa payung” kataku sambil menaruh tangan di dagu dan melihat lurus ke arah jalan. Mobil-mobil lalu lalang, satu per satu kendaraan roda dua mulai menepi sedangkan kendaraan beroda empat berhenti di tengah jalan. Mulai beruntun dan terjadilah hal yang paling dibenci pengendara, macet. Kepalaku mulai pusing lagi, kupijit-pijit pelan kepala ini. Rasanya dingin sekali. Pengelihatan mataku mulai tidak jelas lagi. Badanku terasa melemas. Aku mencari-cari tiang sebagai tumpuan di sekitar tempatku berdiri. Mataku mulai terpejam dan … aku tak ingat apa-apa lagi.
“sudah siuman?” suara bass menyapaku hangat. Sedikit demi sedikit aku membuka mata perlahan melihat jelas sekitar. Pintu cokelat tebal ada diujung sana. Jendela tinggi dengan tirai berbentuk indah. Ini jelas bukan kosanku. Aku menoleh ke samping kiri, seorang pria berkacamata tersenyum hangat. Sepertinya tinggi sekitar 180cm, tubuhnya kurus, matanya berwarna cokelat muda, hidungnya mancung, senyumnya…manis sekali.
“ini dimana?” kataku sambil mencoba bangun dari tempat tidur.
“rumahku”
“kenapa aku disini?” dapat ku taksir mungkin umurnya berkisar antara 19 tahun mungkin.
“kamu pingsan, aku bawa kamu kesini. Kamu demam, tapi sekarang panasmu sudah turun”
“oh,terima kasih. Jam berapa ini?”
“sekitar pukul delapan”
“aku harus pulang, makasih ya semuanya”kataku asal lalu aku menyadari sesuatu. “Eh tapi lo nggak ngapa-ngapain gue kan?” tanyaku penuh selidik. Dia hanya menggeleng lembut dan senyumnya…mengembang lagi. ‘Inget riko, sherin’kataku dalam hati. Dia tertawa pelan memberikan kesan elegannya. Pria itu bangkit dan mengulurkan tangannya kepadaku.
“aku hanya menolong, jangan takut. Ayo kuantar pulang” aku menyambutnya dengan senang hati. Aku tahu harusnya aku waspada terhadapnya. Tapi seakan-akan ada magnet diantara kami aku tidak bisa mengelak bahwa pria ini sepertinya dapat dipercaya.
“sekali lagi terima kasih.” Kataku dengan senyum seribu watt.
***
Matahari mulai meninggi, teriknya langsung menyerbu seakan-akan keseluruh badan. Hari ini terasa panas sekali. Cuaca panas dan didukung oleh keadaan sehabis olahraga. Rasanya sungguh sangat tidak me-nye-nang-kan. Badanku terasa lengket sekali. Keadaan kelas masih kosong, masih banyak yang ganti baju di toilet. Suasananya pun ribut tak beraturan. Ku raih tas ungu kesayanganku dan mengobrak-abrik isinya. Rupanya aku lupa membawa tissue basah atau handuk kecil. Lalu ada sebuah amplop menyempil diantara buku-buku. aku mengambil amplop tersebut. oh uang dari ibu ternyata, ada beberapa uang seratus ribuan di dalamnya. Ini adalah uang untuk kehidupan sehari-hariku. Bayar kosan yang untungnya aku bisa patungan bersama rena teman sebangku sekaligus teman sekamar.
Aku baru menyadari satu kesalahan fatal. Segera kutaruh uang itu di ransel. Sang pangeran telah berdiri di ambang pintu dan aku nggak sadar? Bodoh bodoh tak berhenti aku memaki diri sendiri. Rena segera menyenggolku dengan sengaja. Aku menoleh dengan muka merah. “tuh ada riko, samperin sana”katanya sedikit menggoda. “shut up your mouth beauty queen, please” jawabku asal. Riko melongok ke dalam kelas. Fina si centil menyapanya manja. Ya Tuhan kenapa aku ditakdirkan satu kelas dengannya?
“nyari gue rik?” tanyanya kepedean. Riko menggeleng, aku bisa bernafas lega sedikit dan menertawakan fina dalam hati. Jantungku berdetak cepat sekali. Seakan ada ritme di setiap degupannya.
“ada sherin nggak?” katanya dengan sejuta pesonanya. Aku yang mendengar itu hanya bisa terdiam dan berharap ini nyata!
“ih ngapain sih lo nyari tu orang? Tuh meja paling belakang” fina menjawab kecut. Riko melangkah dengan handuk kecil ditangan kanannya. Aku dan rena seperti menyaksikan drama rasanya. Ia duduk di atas mejaku. Aku melongok menatapnya.
“apa?” kataku berusaha rileks.
“ nih” riko memberiku sebuah handuk kecil berwarna putih yang tadi dia bawa. “lo habis olahraga kan? Pasti butuh ini” lanjutnya. aku mengambil handuk itu dari tangannya.
“thanks” ia tersenyum lalu berdiri.
“gue cabut ya. Oh ya, hati-hati ya kalau jalan” ia mengerlingkan matanya dan tersenyum lalu melangkah pergi.
Seisi kelas segera mengerubui ku yang masih tidak percaya apa yang terjadi. Mereka langsung menyerbu dengan bermacam-macam pertanyaan aneh. Rena pun tak ingin kalah dengan yang lainnya. Maklum dia kan ratu gossip di kelas.
“ih lo kok bisa sih diperatiin sama orang se-famous dia? Lo kenal dia dimana? Dia kan cowok nomor satu yang paling keren dan tajir di sekolah ini. Lo pake guna-guna ya?” berbagai macam pertanyaan sepeti itu masuk ke kuping kanan dan kiriku.
“tadi tuh beneran ya?” aku berbalik tanya pada mereka semua.
“ itu seratus persen nyata sheriiin” rena dengan sabar menjawab pertanyaan bodohku. “tapi serius deh, kok lo bisa sih ekspresi lo netral gitu di depan dia?”katanya lagi.
“ masa sih ren?” tanyaku lagi.
“hmm”
Fina mulai nyerocos dengan teman-temannya. Tiba-tiba dia mulai buka mulut “ehmm semuanya dengerin yaa. Sherin itu dikasih handuk kecil sama riko tuh cuma buat bikin gue cemburu aja. Jelas dong ya semua tau, riko tuh sukanya sama gue. Ya kan sher?”
“iyalah ya, tau diri aja” kata putri salah satu dari dua dayangnya.
“baru dikasih handuk kan? Gue rasa itu hal yang biasa, kenapa harus ada yang cemburu?” kataku tak mau kalah. Hanya satu tembak fina dan dayang-dayangnya melangkah pergi keluar dengan muka ditekuk.
“ hebat banget deh lo sher bisa ngalahin ratu oncom itu” yang lain menjadi tambah ribut sambil tertawa-tawa. Dan aku masih menatap handuk pemberian riko tadi.
***
Sepulang sekolah, aku menghabiskan waktu di kamar seharian penuh. Aku terlentang di atas tempat tidur menatap langit-langit kamar entah apa gunanya. Sudah dua jam lebih aku terus begini. Terus merenungkan kejadian tadi. Handuk kecil berwarna putih ada di sebelah kiri ku. Aku segera mengambilnya dan menatap penuh senyum apa yang terjadi saat usai olahraga tadi dan ketika aku hampir pingsan saat akan ke halte. Sebegitu pedulikah dia? Terdengar suara sayup-sayup orang membuka sepatu dan memutar engsel pintu. Rena muncul dari balik pintu. Tangan kirinya menggenggam ujung kedua sepatunya. Ia menaruhnya di rak sepatu samping pintu, lalu menutup pintu dan menguncinya. Ia membanting tasnya ke meja belajarnya.
Kamar kami memang tidak terlalu luas. Hanya ada dua tempat tidur yang bersebrangan dan satu lemari yang terdiri dari dua pintu. Lalu ada satu kamar mandi kecil dipojok ruangan. Di sebelah pintu ada rak sepatu, sengaja kami taruh di dalam karena kalau di luar sangat beresiko hilang disembunyikan anak ibu kos. Ada pula dua meja kecil yang bersebrangan yang kami sebut dengan pasrah meja belajar. Lalu ada karpet di dekat pintu dan di atasnya kami taruh meja untuk kami makan atau menerima tamu. Ada tv kecil di depan tempat tidur. Kami sebisa mungkin membuat kamar kami terasa nyaman. Memang di kamar kami tidak disediakan dapur karena di kosan ini bu kos mempersilahkan para penghuni memakai dapurnya sesuka mereka dengan catatan tidak berantakan.
Rena mematikan kipas angin yang sedari tadi kupakai. Aku melihatnya agak bingung. Ac di kamar pun dinyalakannya.
“eh ntar naik loh biaya listrik kita” segera aku mengingatkannya.
“tau deh ah” ia melepaskan kaos kaki nya dan menaruhnya di bak cucian dalam kamar mandi. Ia mengambil baju lalu memasuki kamar mandi. Lima belas menit kemudian ia keluar dengan kaus putih dan boxer. Ia menuju kasurnya dan melompat ke atas kasur.
“kenapa ren?”tanyaku bingung. Tidak biasanya dia pulang dengan tampang bete seperti itu kecuali ada masalah.
“gue puutuuuuus” katanya mencoba pasrah. Kini ia terlentang di tempat tidurnya, sedangkan aku terduduk.
“lagi?” ia mengangguk ringan. “kenapa?” tanyaku.
“dia selingkuh, sher”
“oh, tapi lo bukannya udah ada gantinya ya?”
“oh iya sampe lupa gue sama gebetan gue yang baru” rena terlonjak dari kasurnya. Sangat terlihat bodoh, ia seperti berpikir keras kenapa dia baru menyadarinya.
“hahahaha dasar. Eh ren si riko tuh udah punya pacar belum sih?”
“cieee nanyain wihiw” kata rena menggoda. “setau gue belum” katanya lagi.
“oh” aku hanya ber-oh penuh harap saja kembali menatap handuk kecil pemberian riko dengan senyum mengembang.
“eh iya sher, tadi gue ketemu ibu kos dia nagih tuh”
“yang perlu kita bayar berapa?”
“uang kamar 1 juta, listrik 150 ribu, terus uang cuci baju 200ribu. Lo itung sendiri deh”
“1 juta 350ribu bagi dua jadi 675ribu.” Aku beranjak dari tempat tidur mengambil amplop dari tas. Ku keluarkan uang 7 lembar seratus ribuan. Masih ada sisa 8 lembar lagi di dalamnya. “nih kembali 25ribu” kuberi rena uang itu. Ia menerima lalu merogoh sakunya dan memberikan selembar uang 20ribuan dengan selembar 5ribuan yang sudah kusut.
“yah pas lagi ck. Ntar deh gue kasihnya, masih capek”
“yaudah” aku kembali ke tempat tidur dan memejamkan mata hingga terkantuk.
***
Aku tersentak bangun dari tidur nyenyakku semalam. Hapeku berbunyi nyaring sekali. Sebelum rena terbangun dan marah-marah lebih baik dengan terpaksa aku mengangkat hape yang ada di sisi bantal.
“halo” sapaku setengah mengantuk.
“nak, ini ibu. Uangnya sudah kamu terima?” seperti biasa ibu langsung ke pokok persoalan tanpa basa-basi.
“oh udah kok bu”
“maaf ya nak gara-gara ibu sama ayah kamu jadi harus nge-kos di Jakarta”
“nggak apa-apa kali bu, lagian kan ini kemauan aku juga”
“hmm.. ibu sama ayah mungkin nggak akan balik dari china. Makanya nanti pas lulus kamu sekolah disini aja. Kamu nggak apa-apa kan tinggal di Jakarta sendiri? Atau mau tinggal sama nenek di bandung? Atau kamu mau ikut kami tinggal disini?”
“aduuuh ibu, masalah ini kan udah kita bahas berkali-kali. Aku tetep mau tinggal di Jakarta. Lagian kan bisa lebih mandiri ya kan bu?”
“tapi siapa yang bakal jagain kamu? Lagian kamu kalau sama kami lebih terjamin”
“kan ada ibu kos ada rena. Aku nggak tertarik deh tinggal disana”
“yaudahlah terserah kamu. Kalau ada apa-apa telepon ibu”
“hmm bye”
“bye dear”
Memang sejak setahun yang lalu keluargaku menetap di china. Ayah tiriku mendapat beasiswa untuk spesialis kulitnya disana. Ayahku adalah seorang dokter spesialis jantung. Memang sangat bertolak belakang dari jantung ke kulit. Otak ayah memang sulit ditebak. Sedangkan ibu adalah seorang penulis. Kebetulan bukunya dijual di china juga. Tulisan fiksi ibu memang bisa dibilang keren aku pun ikut menjadi mengidolakannya. Ibu memang sangat popular tidak diragukan lagi. Mereka hanya pulang saat aku pembagian rapot. Banyak teman-teman yang meragukan kalau aku adalah anaknya. Entah kenapa bakat ibu tidak menempel di otakku. Otak ayah juga tidak. Aku suka hal-hal yang berbau film action.
Sebelum pulang sekolah, aku mampir ke ruang tata usaha untuk membayar uang sekolah. Bu era menatap tajam mataku. Ini sungguh hal yang paling aku benci setiap bayar uang sekolah. “jadi kamu Sherin Arleta? Anak penulis yang namanya siapa itu?” lagi-lagi pertanyaan yang sama seperti bulan-bulan yang lalu. “saskia darindra bu” aku mengingatkan. “oh yayaya saya ingat” katanya. “oke bulan ini kamu lunas” katanya lagi. Aku bersyukur bu era tidak bertanya-tanya lagi tidak seperti biasanya yang selalu mengungkit kehidupan pribadiku yang jauh dari orangtua.
Setelah itu, aku berjalan menuju halte untuk segera pulang. Cuaca saat ini panas sekali. Ingin aku langsung pulang dan menyalakan ac. Sebuah mobil harrier hitam berhenti di depan ku. Sedikit demi sedikit kaca pintu terbuka. Seorang pria berkaca mata tersenyum hangat menyapaku. Diaaa.. aku berusaha mengingat. Oh iya dia yang menolongku waktu itu. Tatapannya hangat sekali seakan kami seperti sudah mengenal sebelumnya. Aku menoleh ke belakang mungkin dia ingin menjemput seseorang dari halte ini. Ia melihatku dengan dahi berkerut. Ia mengangkat bahu lalu tersenyum dan berkata “kamu”. Aku melangkah dengan ragu mendekatinya. “gue?” tanyaku gagap. Ia mengangguk sambil mengeluarkan senyum seribu watt nya. “come in” katanya lagi. Aku membuka pintu mobil dengan hati-hati.
Aku sangat tidak mempercayai apa yang terjadi. Memang ini adalah kedua kalinya aku menaiki mobil ini tapi rasanya sungguh berbeda. Padahal orang yang sama dan keadaan mobil yang sama. Sebuah lagu terputar disana. Alunan suara Michael Jackson dengan lagu the girl is mine mengisi kekosongan diantara kami. Oh Tuhan apa yang harus ku perbuat? Kenapa menjadi seperti ini? Ada suatu hal yang lain yang kurasakan. Tak pernah aku seperti ini sebelumnya.
“are you okey?”katanya sesekali melirik ke arahku.
“kenapa?”
“mukamu pucat”
“lo mau nganterin gue pulang?” akhirnya aku baru tersadar apa yang ingin ku katakan sebelum masuk ke dalam mobil ini. Saat itu rasanya seperti tersihir.
“hmm. Bolehkah?” ia memberhentikan mobilnya dan menoleh ke arahku. Tubuhnya mulai mendekat. Ia mendekat hingga 15 cm dari tempatku bersandar. Aku terkejut dan berdoa semoga Tuhan menyelamatkanku sekarang. Ia menarik sesuatu dari sisi kiriku. Menariknya hingga ada sesuatu berbunyi klik. Ia kembali ke tempat dia menyetir dengan baik. “jangan lupa pakai seatbelt, mahal sekali membayar dendanya” senyum jahilnya mengembang.
“oh” aku mencoba sedikit tenang. “kenapa? Kenapa mau mengantarku pulang?”
“kebetulan lewat halte tempat kamu pingsan waktu itu. Dan ada kamu disana. Apa salahnya berbuat baik?”
“but you’re a stranger. You’re very dangerous for me” kataku blak-blakan.
“aku hanya takut kamu pingsan lagi” dia terkekeh pelan. Mobil sudah mulai berjalan lagi. “sekarang I’m not a stranger person again. Aku Rain, sekarang kamu adalah orang asingnya”
“rain? Muka lo nggak kayak orang Indonesia asli deh” ia menggeleng.
“sedikit terkena sinar jepang mungkin. Aku tinggal disana sejak umurku 9-10 tahun.”
“ oh. Rain? Hujan?”
“hmm begitulah aku menyebut diriku”
“nama asli?” tiba-tiba mobil berhenti mendadak. Kendaraan di belakang mengklakson berkali-kali dan memaki sebentar. rain mengemudikan kendaraannya lagi.
“kau akan tau nanti, sekarang siapa namamu?”
“sun, matahari.” Kataku santai.
“hm?” ia melirik dengan kening berkerut.
“kau akan tau nanti” aku meliriknya dan tertawa. Ia pun tertawa bersamaku.
“baiklah sun” aku mengangguk.
Sesampainya kami di tempat kosanku dia ikut turun bersamaku. Katanya tidak baik mengantar perempuan jika tidak sampai depan rumahnya dan memastikan dia baik-baik saja. Ternyata rena baru saja pulang. Ia menoleh ke arah kami berdua. Rena tercengang sebuah handphone yang dipegangnya sampai terjatuh.ketika kami mulai dekat dengannya. Ia tiba-tiba tersenyum penuh makna. “romeo?” katanya. “hah?”aku menjadi bingung. Aku melirik ke arah rain. Ia hanya tersenyum. “ternyata di indonesia ada juga yang mengidolakanku. Terima kasih banyak” katanya sambil membungkuk hormat. Aku menoleh ke arah rena. “romeo?” aku mengulang pertanyaan rena. “kau akan terlihat lebih tampan jika kacamata mu di buka” kata rena sambil melepas kacamata yang dipakai rain atau romeo. “dia model jepang yang gue sering ceritain ke lo sherin, masa lo nggak tau dia. Ganteng bangeeet” kata rena menjelaskan dengan aksen sedikit kecentilan. “model nggak laku itu?” kalimat itu terlontar begitu saja. Aku lupa ada orangnya diantara kami. Rain memandangku tersenyum. “setahun yang lalu aku ikut modeling di jepang tapi setelah itu berhenti. Aku tidak terlalu menyukainya” tutur rain menetralisir. Rena yang sukaa banget cowok-cowok jepang pantas saja mengetahui keberadaan romeo. Mungkin kalau yang lain lebih banyak yang tidak mengenalnya bahkan tidak ada yang mengenalinya. “oh” kataku pasrah. “tapi bukannya lo suka yang jadi Shinichi kudo itu?” kataku mengingatkan. Rena menyikutku gemas.
“jadi namamu sherin?” tanya rain.
“hmm” setelah itu rain atau romeo pamit pulang. Rena dengan sejuta pertanyaan langsung menghujamku ketika masuk ke dalam kamar. Aku hanya diam dan berusaha membuatnya tau jika aku tak ingin membahasnya.
***
Dari tengah lapangan terlihat hiruk-pikuk penonton. Mereka bersorak-sorak meneriaki salah satu pemain futsal. Siapa lagi kalau bukan riko. Cowok terkeren yang ada di sma global internasional ini. Tak banyak orang bisa masuk sembarangan ke sekolah ini. Jika mereka memiliki modal tinggi dan kemampuan otak yang lumayan lampu hijau dinyalakan. Aku dan rena beruntung memiliki hal-hal itu. Rena bukanlah orang asli Jakarta melainkan jawa tengah. Ia sih mengaku anak keturunan kerajaan. Tapi siapa yang tau? Oke, kembali ke pokok cerita. Fina dan dayang-dayangnya berteriak sekencang-kencangnya meneriaki nama riko. Anak perempuan lain tidak ada bedanya. Ada yang bilang ”riko kamu pasti bisaaa!” atau ada juga yang hanya menyebut namanya saja dengan histeris “rikooo” ada juga yang agak sedikit nggak nyambung sama pertandingan futsal antara kelas riko dengan kelasku. Mereka dari anak-anak perempuan kelas riko. Mereka semua membawa karton yang bertulis kan “we love riko forever” dan meneriaki isi dari tulisan karton tersebut. Sungguh sangat norak sekali kawan-kawan. Aku? Aku hanya mengambil tempat di pojok lapangan agar bisa melihatnya main sesukaku. Tidak perlu ada yang tau juga jika aku berdiri disini kan? Kenyataannya selalu begitu. Aku tidak berani memperhatikan riko terang-terangan.
Pertandingan pun usai. Tim riko berhasil membawa kemenangan dengan skor 3-1. dengan penuh keringat yang bercucuran riko berjalan ke tempat dia beristirahat. Anak-anak perempuan langsung menyodorkan sebuah sapu tangan ke arahnya. Riko dengan sopan menolak pemberian mereka. Ia akhirnya berjalan ke arah toilet. Diam-diam aku mengikutinya dari belakang. Fina dan kawan-kawan menghampirinya dan berlagak sok imut di depan riko. Sebuah handuk kecil yang ku pegang daritadi tergenggam begitu erat. Amarahku memuncak. Lebih baik aku pergi dari sana.
Di tempat riko…
“rik nih ada handuk kecil buat lo” fina menyodorkan sebuah hansuk kecil berwarna pink.
“nggak usah kali fin, gue udah ada kok”
“nggak apa-apa kali ambil aja”
“nggak usah. Warnanya juga pink, lo tau kan gue nggak suka warna pink?” tolak riko. Fina menarik handuknya kembali. Kemudian tersenyum dibuat-buat.
“si sherin mana ya?” tanya riko
“pulang kali mana suka dia nongkrong abis pulang sekolah” jawab fina cuek. “ngapain sih mikirin dia?”
“Dia unik ya, beda dari yang lain fin. Nggak lebay kalau ketemu gue” riko berkata jujur.
“hah?”
“gue cari dia dulu ya daah” kata riko sambil lalu.
***
Aku duduk terdiam di kantin sekolah. sebuah jus alpukat terpandang oleh mataku. Aku menarik nafas dalam-dalam dan mengeluarkannya perlahan. Handuk kecil yang diberikan riko padaku masih terpegang erat di tanganku. Aku mengamati handuk yang telah kucuci itu. Tiba-tiba seseorang datang dan duduk di depanku. riko. ia tersenyum jahil menatapku. Jantungku berdegup lebih kencang dari biasanya. Selalu saja seperti ini jika dia ada Aku memberikan handuk kecil itu padanya. Lunaslah hutangku. Ia segera mengambil dan mengusap wajahnya yang banyak keringat itu kemudian tersenyum lagi.
“buat gue ya jusnya” aku mengangguk perlahan. Dia meminum jus hingga tinggal setengahnya saja. “makasih” katanya lagi.
“iya”
“ini handuk gue ya?” riko memperhatikan handuk kecil yang yang kuberikan padanya tadi.
“iya. Udah gue cuci kok. Tadi mau balikin eh lo lagi dikejar-kejar fans lo” tuturku tanpa sadar dengan nada yang lumayan tinggi. Oh Tuhan kenapa aku jadi marah padanya. Riko hanya tertawa. “is it funny?” kataku lagi.
“hmm nggak juga sih. Eh minum dulu dong jusnya” aku langsung menenggaknya sampai habis. Dia tersenyum senang. “ rasanya suka sama orang tuh gimana sih sher?” aku terlonjak mendengar pertanyaannya. Aku nggak tau apa jawabannya. Akhirnya aku memilih berdiri dan pergi meninggalkannya sendirian. “maaf gue harus pulang” kataku sambil lalu. Beberapa kali ku dengar riko menyebut namaku.
“susah banget sih tuh cewek di deketinnya. Tapi gue suka gayanya” riko berdiri dan mengejar sherin tapi sayang dia tidak berhasil.
***
Rain atau romeo menjemputku di halte. Ternyata dia sudah lama menunggu. Mana kutahu jika dia akan menjemputku hari ini dan lagi. Aku sudah memasang seatbelt sebelum kejadian kemarin terulang lagi. Rain membetulkan letak kacamatanya dan menoleh padaku. Ia tersenyum. Senyuman itu lagi… aku tidak bisa berbohong kalau senyuman itu tidak membuat jantungku ingin berhenti berdegup sebentar saja, dan memandang wajahnya lama-lama. Sesuatu perasaan mengalir dalam desir darahku. Setiap aku bertemu dengannya dia selalu memberiku kejutan yang sangat tidak penting tapi bisa membuat darahku mengalir lebih cepat, jantungku berdegup kencang lebih dari yang kurasakan jika di dekat riko, dan membuatku mulai menyukai senyumnya dan caranya memperlakukanku mulai saat ini. Ya saat ini. Mobil pun berjalan menyusuri jalanan ke kosanku.
“gue harus manggil lo rain? Atau romeo?” tanyaku mencairkan suasana.
“aku lebih senang kau memanggilku rain. Hujan, peneduh” katanya tenang.
“oh” tiba-tiba terbesit dalam pikiranku “mau nggak lo eh kamu nganterin aku pulang pergi sekolah?”
“apa?” ia seperti terkejut.
“kalau nggak mau nggak apa-apa” kataku sedikit kecewa dalam hati.
“of course sure, you’re my first friend in Indonesia” wajahnya terlihat cerah dan yang paling aku herankan dia tidak merasa asing bahkan harusnya orang normal akan bertanya ‘kenapa? Kita kan baru kenal’. Tapi aku tidak peduli setidaknya ada orang yang baik hati membuatku sedikit berhemat.
“thank you so much” Kami tertawa sepanjang perjalanan. Aku benar-benar menyadari suatu hal.
***
Sudah sebulan lebih sejak aku mengenal rain. Semakin hari aku menyadari kalau riko sering memerhatikan ku dari belakang. Jika ulahnya tertangkap maka dia akan berbasa-basi sebentar kepadaku atau hanya menyapa saja. Memang seharusnya aku senang tapi kenyataannya hanya seminggu aku merasa bahagia. Setelah itu aku bosan, sangat bosan. Justru anehnya aku merasa senang jika bersama rain. Entah kenapa. Ia selalu membuatku nyaman berada di dekatnya. Aku tidak tahu apa artinya ini. Aku hanya menjalani semuanya tanpa berpikir. Toh, aku pun tau aku dan rain adalah persahabatan yang walaupun baru beberapa minggu ini saja. Sedangkan aku dan riko adalah hubungan yang rumit. Aku menyukainya, tapi aku tidak tahu apa maksudnya berlaku begitu terhadapku. Lagi pula aku lebih sadar diri, dia akan memilih fina. Sekali lagi fina bukan aku.
Aku berjalan menyusuri koridor sekolah bersama rena. Kami membawa setumpuk buku-buku tugas bahasa inggris. Minggu ini kami duduk di depan tepat di depan meja guru. Resikonya adalah kami harus membawa buku-buku tugas setiap harinya. Aku melihat riko duduk terpuruk di depan ruang kelasnya. Ia menempelkan handphone nya ke telinga lalu tiba-tiba menjatuhkannya. Satu tangannya lagi memegang kepalanya. Aku saling pandang ke rena. “kenapa cowok lo?”rena bertanya bisik-bisik. Aku hanya mengangkat bahu. Kami berjalan mendekati kelasnya dan mengintip sedikit. Sedang belajar, tapi kenapa dia ada diluar? Saling pandangku ke rena terjadi lagi. “sher, sini bukunya. Biar gue yang bawa ke meja ms. Saedah” rena memberi ide. Aku mengangguk setuju. Kutaruh buku-buku yang kupegang di atas buku-buku yang dipegang tangan rena.
Aku duduk di sebelah riko. Aku menatap matanya yang sendu tidak seperti biasanya yang selalu ceria. Dia tertunduk. Menangis. Hanya aku yang melihatnya. Tidak ada orang yang lewat saat jam pelajaran seperti ini. Aku mengelus punggungnya pelan. Ia menoleh dengan tersenyum dipaksakan. Kakinya yang dari tadi ditekuknya kini menyilang . riko menghapus air matanya. Pipinya yang basah kini menjadi kering. Aku tidak pernah menyangka seorang riko ternyata rapuh sekali. Aku belum berani berbicara apa-apa. Ia menatapku tajam dan tersenyum dengan senyum seribu watt nya yang kini terlihat dipaksakan.
“ kenapa?” dengan ragu aku mulai angkat bicara.
“ tunangan gue meninggal” air matanya mengalir lagi.
“ tu..tunangan?” riko hanya mengangguk
“ dari kecil gue udah bersahabat sama dia. Rumah kami bersebelahan. Orang tua kami berteman baik. Sampai akhirnya kita dijodohkan. Perasaan gue sama dia nggak lebih dari sekedar sahabat. Dia mencintai gue dan gue nggak bisa menolak itu. Dia sakit. Awalnya gue bersihkeras nggak mau tunangan sama dia, begitu gue tau dia sakit” riko tersedu lalu melanjutkan ceritanya “mungkin ini bisa buat dia bahagia di sisa hidupnya. Melunasi semua kesalahan gue sama dia. Tapi gue tetep nggak rela sher dia pergi ninggalin gue. Gue belum siap hidup tanpa dia di samping gue” air matanya mengalir deras. Ia menutup matanya dengan lengan kanannya.
“riko.. lo nggak boleh liat ke belakang. Kalau lo nangis dia akan sedih di atas sana. Gue tau rasanya kehilangan.”
“lo nggak tau sher” satu detik kemudian riko memelukku. Suatu kejadian yang tidak disangka.
***
Seminggu setelah kejadian itu aku merasa aku lebih mengerti riko. Riko yang ceria, riko yang memiliki banyak fans, riko yang jago futsal, sebenarnya dia hanya seorang riko yang biasa-biasa saja riko yang juga rapuh. Kini aku juga mulai dekat dengannya. Hampir setiap istirahat kami berdua ke kantin. Kejadian waktu itu membuat aku belajar menghargai waktu. Kini riko bisa tersenyum lagi. Sekarang aku sedang bersamanya di sebuah taman dekat rumahnya. Riko mulai mengenang. Disa, tunangannya yang telah tiada itu sangat menyukai tempat ini. Hampir setiap waktu disa selalu mengajak riko pergi kesini. Tempat favorit disa adalah kursi taman dekat pohon jambu yang ada di tempat itu. Aku berdiri di samping riko yang terduduk di bangku favorit disa. Ia menatap sebuah mawar merah yang ditanam disana.
“ disa suka duduk disini karena ada bunga berduri itu” katanya sambil menunjuk dengan dagunya.
“ pasti sampai sekarang” kataku menimpali. Riko hanya mengangguk setuju.
“ di tempat ini, sekarang. Lo mau nggak jadi penggantinya dia? Gue sering cerita tentang lo ke dia. Dia bilang “kalau suatu saat nanti aku nggak ada, aku rela kamu sama dia. Aku mendukung kamu. Seandainya kita nggak ditakdirkan seperti ini, mungkin kamu sudah bersamanya sekarang” dia tersenyum pasrah waktu itu” riko terdiam. Air matanya menetes tapi langsung ditepisnya. “kenapa disa harus cepat pergi”
“gue nggak bisa gantiin disa rik” kataku tegas. “nggak ada yang bisa gantiin dia, termasuk gue”
“gue tau” riko menjawab kalem. Dia tersenyum menatapku. “gue minta lo gantiin dia sebagai sahabat gue, bukan tunangan gue lah” dia tetawa lepas aku hanya tersenyum garing. Memaki diriku yang ge-er “sampai kapan pun gue nggak mau dia ada yang menggantikan. Lagi pula gue belum siap untuk pacaran dari dulu”
“hmm gue terima tantangan lo hahaha. Tapi lo belum siap pacaran ya?” riko menoleh. Dia mengangguk. “kalau tunangan siap?” tanyaku lagi. Aku tertawa melihat ekspresi bodohnya dia. Dia hanya menyeringai.
“lagi pula kalau lo jadi sahabat gue nih ya, tetep aja disa nomor satu jadi jangan cemburu”
“nggak kenal lo juga nggak apa-apa” aku memandangnya sok serius.
“Cuma bercanda sheeeeeeeer” dia mendorong tubuhku pelan sehingga aku sedikit tergoncang dibuatnya. “awalnya gue emang suka sama lo sher. Tapi sejak kenal lo kayak gini gue tau perasaan gue sama kayak gue ke disa. Hampir mirip lo sama disa dari cara lo bicara dan bertindak” aku riko.
“gue juga suka sama lo tadinya tapi sejak kenal lo kayak gini gue merasa perasaan gue nggak lebih dari sekedar..”
“ya gue tau” riko memotong dan tersenyum. Lalu tatapannya kembali ke bunga mawar merah favorit disa.
***
Sejak saat itu selain ditemani rena kini ada juga riko di sampingku. Minggu-minggu aku jalani bersama mereka. Banyak anak perempuan iri padaku. Mereka salah sangka jika bilang aku sudah berpacaran dengan riko. Kenyataannya tidak begitu. Kami hanya berteman baik. Justru yang kurasa adalah riko mulai menyukai seseorang. Dia rena. Riko sering bercerita tentang kejadian hari ini bersama rena kepadaku. Sebenarnya aku tau rena juga mulai menyukai riko tapi ia sangat tidak enak hati untuk mengakuinya.
Banyak sekali perubahan yang terjadi. Termasuk perubahan perasaanku. Aku akui di keadaanku sekarang ini aku merasa senang. Tapi entah kenapa aku juga merasakan kehilangan sesuatu. Sejak saat itu aku pulang sekolah selalu bersama riko dan rena. bukan Rain. Rain. Nama itu selalu terbesit di pikiranku aku mulai merindukan kehadirannya. Memang salahku. Sepertinya aku menjauhinya. Bagaimana jika aku datang kepadanya seperti tidak terjadi apa-apa atau biarkan perasaan ini akan hilang dengan sendirinya. Akhirnya aku memutuskan sesuatu. Aku akan menunggunya di halte.
Sepulang sekolah aku langsung berlari menuju halte dekat sekolah. Sebuah harrier hitam menjadi pusat perhatianku. Mobil itu terparkir di sebelah halte. Aku melangkah mendekati mobil itu dan mengintip sedikit. Seseorang dalam keadaan tidur di dalam mobil. Kacamatanya agak menggeser. Ia melipat kedua tangannya di dada. Aku mengetuk pelan kaca mobil. Ia tersentak bangun. lalu menoleh ke arahku dan tersenyum tenang. Ajaib sekali orang ini tetap tidak marah padahal aku sudah berlaku jahat padanya. Ia menggerakan tangannya menyuruhku masuk. Aku mengikuti perintahnya. Mobil pun segera berjalan.
“maaf aku tidak menemuimu beberapa waktu ini. Padahal aku yang memintamu untuk mengantar dan menjemputku” hanya itu yang bisa ku katakan.
“ya kau menghilang akhir-akhir ini. Aku tau sekarang kau sudah bersamanya. bodohnya aku masih ingin menjadi supirmu”
“siapa?” dahiku mengkerut. Rain menunjuk sebuah bmw hitam yang dikendarai riko dan di sampingnya ada rena begitu mobil kami saling berpapasan. “riko dan rena?”
“cowok itu” rain memperjelas. Aku tau pasti sebentar lagi rain akan marah.
“kamu marah?”
“tidak”
“Dia baru saja kehilangan seseorang, aku harus menemaninya. Dia temanku”
“dari wajahmu sepertinya kamu menyukainya” aku terkejut mendengar pernyataan rain. Kenapa dia tau? Aku menghela nafas panjang.
“dulu” aku mengakui. Aku jadi teringat pertanyaan riko beberapa bulan yang lalu di kantin. Kini aku mengulangi pertanyaannya. “apa rasanya menyukai seseorang?” aku menggeser dudukku sehingga bisa berhadapan dengannya jika ia menoleh. Gerakku terbatas karena seatbelt mengikatku. Rain menoleh sambil mengerutkan dahi lalu menjawab.
“rasanya kau sangat bahagia bersamanya, ingin dekat dengannya, selalu ada untuk dia, menyukai apapun yang ia lakukan. Tidak bisa membencinya. Yang paling penting, kau tidak bisa menepis perasaan yang mengalir.” Rain menjawab kalem.
“bagaimana bisa tau?”
“aku merasakannya” aku terdiam mendengarnya lalu membenarkan cara dudukku. Kami terdiam sampai akhirnya kami sampai di suatu tempat. Bukan kosanku. Rumahnya.
Ia mengajakku masuk ke dalam. Aku mengikuti saja. Ini kedua kalinya aku datang. Kami memasuki ruang tamu hingga berhenti di meja makan. Rumah ini bergaya eropa di beberapa tempat dan asli jepang di ruang tengah dan pintu menuju kolam renang dan taman belakang. Ia mengeluarkan sebuah es krim vanilla dari dalam kulkas dan menyendoknya ke dua mangkuk es krim kemudian mendekatiku yang duduk di meja makan. Rain menyodorkan apa yang dibawanya. “kau butuh ini” katanya sambil lalu.
Rain duduk di karpet ruang tengah. Walaupun terkesan jepang, ada sofa pula yang menghadap tv. Lalu rain menyalakan tv dan memakan es krim. Aku mengikutinya. Dia menoleh ke arahku dan tersenyum hangat.
“aku suka tempat ini” kataku memulai pembicaraan.
“hmm” ia menyendok es krimnya dan memasukan ke dalam mulutnya. “datanglah sesukamu. Aku kesepian disini. Hanya ada aku dan pembantu yang siang pulang”
“orang tua mu?” ia menoleh dan tersenyum sedih.
“ibuku sudah tiada. Ayahku jadi workaholic di jepang. Hanya aku yang ada disini”
“nasib kita sama. Bedanya aku kehilangan ayah, ibu menikah lagi dan tinggal di china”
“benarkah?”
“hmmm. Kau mempunyai teman?” rain menggeleng.
“hanya kau yang ku punya” kami terdiam cukup lama. Hingga akhirnya aku menangis. Air mata itu keluar begitu saja. Rain menatapku cemas. Ia mendekat lalu meminjamkan bahunya untukku.
“aku disini” katanya. Kami terdiam sampai ia mengantarku pulang hingga kamar kos ku. Hening…
***
Aku berpikir keras sejak kemarin. Aku malu menangis di depan orang lain. Sejak dahulu aku menangis sendirian saat orang lain tidak bisa mendengarku. Entah kenapa, jika di dekat rain, aku bisa leluasa menangis di bahunya. Sedikit malu, tapi membuatku tenang. Aku tidak bisa merahasiakan bahwa aku merindukan ayah dan ibu. Ayah ku yang meninggal maupun ayah tiriku. Mereka sama-sama pergi jauh. Tidak mengerti arti kata tidak ingin dariku. Aku tidak bisa mengelak.
Hari ini rain tidak menjemputku, mungkin dia sibuk. Aku menarik nafas panjang. Aku kecewa. aku butuh dia saat ini…
Keesokan harinya dia tidak tampak juga. mungkinkah dia tidak ingin bertemu aku lagi? Tiba-tiba pikiran itu terbesit di otakku.
Lusanya, dia tidak terlihat juga. Mungkinkah dia pergi meninggalkanku?
Keesokan lusa, dia tidak datang juga. aku sangat merindukannya.
***
Aku memasuki kelas dengan muka tertekuk dan duduk tidak bertenaga. Rena yang dari tadi berjalan di belakangku dahi nya mengkerut. Banyak yang menyalami rena membuat aku bingung. Riko datang ke kelasku dengan senyum sumringah. Fina bergidik kesal. Aku menatap rena dengan wajah bingung. Rena menarikku menuju kantin, sayangnya bel masuk sudah berbunyi.
Bel istirahat sudah berdering lantang. Murid-murid segera keluar kelas berbondong-bondong. Rena teringat niatnya tadi pagi, ia menarikku ke kantin. Disana ada riko yang menunggu. Ia melambaikan tangannya dan menyuruh kami menghampiri. Aku menuruti langkah rena berjalan. Seperti kejadian tadi pagi, banyak orang mengucapkan selamat pada rena. Rena duduk di sebelah riko. Mereka berpegangan tangan. Lalu rena mulai angkat bicara.
“gue jadian sama riko” aku terlonjak dari lipatan tanganku. Aku menoleh ke riko tidak percaya. riko mengangguk mantap. “maaf ya sher, gue ngambil gebetan lo” rena menunduk pasrah.
“gebetan? Riko sahabat baru gue kali hahaha. Selamat yaaa, jangan lupa pajak jadian.” Kataku ikut senang. Mereka malah cengengesan.
“tenang aja ada riko disini. Eh sher thanks ya gara-gara lo gue jadi siap pacaran”
“gue?” riko mengangguk. Aku menggeleng tidak mengerti. Aku menenggelamkan kepalaku di lipatan tangan. Mereka saling pandang.
“lo kenapa sih sher akhir-akhir ini jadi diem banget?” tanya rena.
“raiiiin, gue pengen banget ketemu sama dia”
“romeo? Bukanya lo di anter jemput sama dia?” timpal rena. aku menggeleng.
“cepat ketemu cepat juga perginya. Ah desperate gue” kataku sedikit membentak di kalimat terakhir.
“beberapa hari yang lalu ada orang yang ngebuntutin gue sama rena loh” riko memulai pembicaraan baru. “mobil harrier hitam gitu, ya kan beb?” riko menoleh ke rena yang mengangguk setuju. Aku kaget mendengarnya. Harrier hitam… RAIN
“platnya?” tanyaku tak sabar.
“B 1241 N” kata riko tenang sambil meminum es teh nya.
“RAIN, ITU RAIN” kataku dengan suara agak meninggi. “arahnya dari mana?” riko menggeleng tidak tahu.
“kok gitu sih? Coba aja lo dateng ke rumahnya” usul rena benar juga.
Sepulang sekolah aku, riko, dan rena pergi menuju rumah rain. Tentu saja dengan mobil riko. Sekitar dua puluh menit kemudian kami sampai di rumah bercat cokelat.
“gimana nih? Kita nunggu disini aja?” tanya rena.
“hmm mungkin lebih bagus kalau gitu. Tungguin gue ya” kataku penuh harap. Rena tersenyum mendukung sedangkan riko hanya mengangkat ibu jarinya.
Aku melangkah dengan penuh pertanyaan. Apakah aku salah berlaku seperti ini atau benar? Aku hanya mengkhawatirkannya. Khawatir jika dia memilih pergi dan tidak ingin menemuiku lagi. Jantungku berdetak sangat cepat seakan tidak bisa berdetak lagi satu menit kemudian. Aku menekan bel dengan sangat hati-hati. Seseorang wanita paruh baya memakai daster membukakan pintu. “siapa ya?” tanyanya. “saya sherin” kataku sopan. “mau cari siapa mbak?” tanya wanita yang sudah muncul keriput di wajahnya. “rain eh romeonya ada?” wanita itu langsung menutup pintu. Aku tertunduk kecewa lalu membalikkan badan. Tidak lama terdengar suara pintu terbuka. Cowok tinggi memakai kacamata dengan piama tidur muncul dari balik pintu. Ia mengerutkan kening “sherin?” aku menoleh ke asal suara itu berada. Suaranya serak, hampir tidak jelas. Mukanya pucat. Ia mempersilahkan aku masuk ke dalam rumahnya.
Rain membaringkan tubuhnya di sofa ruang tengah. Aku memandangnya heran. Dia tersenyum. Meja cokelat di pinggir karpet putih terdapat sebuah baskom dengan air dan handuk kecil di dalamnya. Wanita paruh baya tadi menghampiri kami dengan dua cangkir cokelat panas. Ia menaruhnya di meja lalu pamit untuk pulang. Setelah terdengar suara pintu tertutup, rain mulai membuka suara.
“sherin-chan, kau pasti kesini karena beberapa hari ini aku tidak menjemputmu kan?” aku mengangguk dan duduk di pinggir sofa. “maaf” katanya lagi.
“aku khawatir kalau kamu tidak ingin menemuiku lagi sejak aku menangis di bahumu tempo hari” aku berkata jujur padanya. Rain hanya terkekeh lalu terbatuk-batuk.
“aku sakit. Setelah mengantarmu pulang aku berenang hingga larut malam. Lagi pula aku tidak akan meninggalkanmu.”
“kamu ini gila atau bodoh sih? Jangan memaksakan diri seperti itu” kataku dengan nada marah. Aku bangkit dan menaruh telapak tanganku di dahinya. Panas. Rain memperhatikan setiap gerakanku. “sudah ke dokter?”
“belum, aku hanya membeli obat.” Aku memeras handuk kecil yang basah lalu melipatnya menjadi persegi panjang dan menaruhnya di atas kening rain. Rain menolak dengan gerakan tangannya untuk melepas benda yang menempel di dahinya.
“biar sembuh” aku mencegahnya cepat, dia menyerah.
“aku bosan memakai benda ini sepanjang hari. Lagi pula aku sudah membeli obat”
“obat aja nggak cukup” kataku tegas.
“maaf” katanya lagi. Wajahnya jadi serba salah.
“aku yang harus minta maaf, aku sudah kasar” aku menghela nafas panjang.
“terima kasih” katanya lalu tersenyum dengan senyuman yang kusuka. Aku membalas senyumnya. “oh ya, kau kesini dengan siapa? Sendiri?” pertanyaan rain membuat aku teringat rena dan riko yang menunggu ku.
“boleh aku bawa teman kesini?” tanyaku.
“jika tidak mengganggu ketenanganku” ia tersenyum usil.
Aku pergi keluar sebentar lalu kembali lagi dengan rena di samping kiriku dan riko di samping kanan ku. Aku memperkenalkan riko pada rain.”rik, ini ra..” kalimatku disela oleh rain. “romeo” kata rain memperjelas. Riko menyebutkan namanya.
“mereka sepasang kekasih” kataku menggoda. Kami tertawa kecuali riko. Dia melihat rain dengan tatapan penuh selidik.
“beberapa hari yang lalu lo ngebuntutin gue?”tanyanya ke pokok persoalan. Rena menyenggol lengan riko untuk melupakan kejadian yang telah lalu itu. Bodohnya rain mengangguk. Aku saling pandang dengan rena, kami takut ada kejadian yang tidak enak apalagi rain sedang tidak enak badan sekarang ini.
“raaaaaiin”aku dan rena mengingatkan.
“aku hanya penasaran. Maaf ya” rain tersenyum menatap riko. “saat itu aku menemukan mu sepulang dari apotik. Jadi niat itu muncul begitu saja”
“oh” riko menjawab singkat kemudian kami terlarut dalam obrolan panjang. Tidak lupa mengganti handuk basah di kening rain ketika sudah kering. Diam-diam aku memerhatikan apa yang rain lakukan.
***
Beberapa hari setelah hari itu, kondisi rain sudah jauh lebih baik. Hari ini adalah hari pertamanya mulai menjempuku lagi. Aku sangat senang sekali. Ia berhenti tepat di depan gerbang sekolah. Ia sedikit membuka kaca mobilnya dan itu berhasil membuat para anak perempuan terkejut lalu berbisik-bisik heboh. Aku segera berlari lalu memasuki mobilnya cepat. Wajahku segera berubah menjadi merah padam. Ketika mobil sudah melaju aku mengangkat suara.
“sudah kubilang jangan menjemput ku disini. Lihat ekspresi mereka, besok mereka akan mencari-cari ku dan aku akan menjadi perantara mereka”
“aku tau aku memang tampan, makanya aku bisa jadi model” katanya bercanda.
“iya model nggak laku” aku menjawabnya ketus.
“oh aku tau kau sirik” ia benar-benar menginginkan aku marah. Aku menatapnya dongkol. “kalau mereka tertarik padaku jangan salahkan aku karena bukan aku yang meminta mereka menyukaiku” rain ingin memperbaiki suasana. Aku terhempas di kursi mobil benar juga apa katanya.
“lagipula kenapa kalau mereka menyukaiku?” tanyanya kemudian.
“aku tidak suka” aku menjawab kesal, lalu aku mendengar tertawa rain yang terbahak-bahak.
“kau cemburu ya?” godanya. Aku memalingkan muka karena aku merasakan pipiku berubah menjadi warna menjadi merah ceri.
“aku tidak mau jadi perantara kamu sama mereka. Besok kan sekolah. Kamu saja sendiri yang mengurusnya”
“begitu ya? besok hari sabtu, kau tetap sekolah?” kini situasinya sudah berbeda.
“oh ya? kalau begitu aku libur”
“menginaplah di rumahku sehari atau dua hari. Kau boleh mengajak rena.”
“kenapa begitu?”
“aku kesepian” wajahnya yang ceria kini berubah menjadi sendu. Aku tahu dia berusaha menutupi dengan senyum yang biasa ia tunjukkan. Tetapi bukan senyum yang aku suka darinya. Aku mengangguk setuju dan tersenyum tulus padanya.
***
hari sabtu ini terasa sedikit mendung. Aku baru saja merapikan beberapa baju yang akan kubawa nanti. Rencananya, rain akan menjemputku pagi ini sekitar pukul 8. rena yang baru saja keluar dari kamar mandi melihatku dengan tatapan penuh pertanyaan. Ia sesekali melirik ke arah tas ransel yang lumayan besar. Sambil menutupi rambutnya yang basah dengan handuk, rena berjalan mendekatiku. “lo mau kemana? Berenang? Dari semalam kan hujan sher, sekarang aja masih mendung” rena nyerocos tanpa henti. “nggak” kataku kalem sambil beranjak dari tempat tidur. “gue mau nginep di rumah rain. Besok gue pulang. Lo ikut dong ren” aku merangkul rena dengan harapan. “serius lo sher?” tanyanya tidak percaya. “tapi kan dia…” kalimat rena terputus olehku. “tapi pasti beda kamar lah. Lagipula gue udah cukup kenal dia kan? Temenin gue yuk ren.” Rena setengah berpikir. Rambutnya yang basah membuat baju di bagian belakangnya lembab jelas terlihat. Lalu dengan sigap dia mengangguk setuju.
Jam delapan tepat seseorang mengetuk pintu. Rain. Ia datang dengan sedikit rintik hujan di kacamatanya yang bening. Tanpa banyak bicara aku dan rena segera mengunci pintu dan menitipkannya pada ibu kos lalu kami pergi meninggalkan kosanku hingga besok. Selama perjalanan aku melihat senyum rain mengembang. Ia kelihatan sangat bahagia hari ini. Ada seorang teman yang mau mengisi kekosongannya di rumahnya. Melihatnya senang, entah kenapa aku pun jadi ikut senang, kadang aku terkekeh kecil melihat wajahnya.
***
Aku terpaksa membuka mataku yang kantuk karena mimpi buruk. Rena sudah tertidur lelap. Aku yakin rain pun sudah tidur. Tiba-tiba aku merasa tenggorokkan ku kering. Aku meraih gelas yang ada di samping tempat tidur. Kosong. Terpaksa aku bangun dan ke dapur di bawah untuk mengambil segelas air putih. Melihat kolam renang yang sepi membuat aku mengurungkan niat untuk minum. Aku membuka pintu sedikit agar ada ruang untuk keluar. Aku terduduk di tepi kolam renang. Bayangan-bayangan masa lalu kembali menghantui. Tidak tersadar tanganku mulai menyentuh air kolam yang dingin. Air mataku meleleh. Ingin rasanya aku merasakan apa yang dirasakan ayah waktu itu. Tanpa tersadar kakiku mulai turun diikuti tubuhku. Aku membiarkan diriku tenggelam di balutan air yang dingin karena malam. Tidak berusaha untuk beranjak ataupun melawan.
“sherin” seseorang menarikku kasar dari samping. Wajahnya marah. Aku tertunduk dalam diam. Bajuku basah, hidungku mampat karena air masuk serta telingaku berdengung.
“apa yang kau lakukan?” nada rain meninggi, tidak pernah ia melakukan ini sebelumnya. Aku hanya menggeleng lemah.
“maaf tidak seharusnya aku menggunakan kolam renangmu”
“bukan itu maksudku” Rain segera menarikku jauh dari kolam. Kami duduk di kursi taman. “apa yang terjadi? Maaf aku sudah kasar padamu” nada suara rain mulai melembut. Air mataku berlinang deras. Rain merangkulku dari samping. Lalu memelukku erat agar aku bisa bertumpu pada bahunya. Ia mengelus punggungku dengan lembut seperti bisa merasakan apa yang terjadi kepadaku.
“bokap gue mati rain. Mati” kataku setengah terisak. “ia meninggal beberapa tahun yang lalu. Gara-gara gue” aku terdiam beberapa saat untuk mengatur emosiku yang sedang melonjak. “gara-gara gue sok berani ngelawan ombak. Bokap gue langsung turun buat nyelamatin gue, walaupun dia tau kalau dia nggak bisa berenang. Gue selamat tapi dia hilang ditelan ombak. Besoknya, tubuh kakunya terdampar di pinggir pantai. Dingin banget. Kenapa nggak gue aja yang mati? Kenapa harus dia?” emosiku benar-benar tidak bisa ditahan. Kami terdiam beberapa saat.
“aku disini. Menangislah sepuasmu. Aku akan pinjamkan bahuku sampai kau tenang, biarkan ini seperti apa yang sedang dan telah terjadi”
Pagi ini aku bangun dengan keadaan mata yang lelah. Sepertinya tadi malam aku menangis hingga tertidur. Aku menengok ke arah kanan tempat rena seharusnya tidur. Rena tidak ada, tasku dan tas rena juga tidak ada di samping lemari pakaian. keadaan kamar sedikit berbeda, mengingatkanku ketika rain membawa ku ke rumahnya untuk pertama kalinya. Aku masih mencari sesuatu yang dapat ku kenali. Seseorang dengan kacamata yang sedikit turun. Aku tersenyum sendiri dan beranjak dari tempat tidur. Selimut yang tadinya melindungi ku, kini ku pasangkan kepadanya. Aku memandang wajahnya yang lembut. Rain terlihat lucu sekali saat tertidur. Niat untuk memegang wajahnya pun muncul. Tanganku mulai bergerak untuk menyentuh sedikit saja kulit putihnya itu tapi aku urungkan. Aku tidak ingin membangunkannya.
Rena sudah siap di meja makan dengan wajah cemberut. Aku menarik salah satu kursi lalu duduk dan membalas tatapannya yang sangat merisihkan itu. Ia menenggak habis susu cokelatnya. Aku meneguk sedikit milikku, ternyata sudah dingin. Berarti rena sudah menyiapkan ini sudah lama.
“kemana lo? Kok lo nggak ada di kamar?”
“hmm.. tadi pagi banget gue udah bangun ren” kataku sambil mengambil selembar roti untuk mengalihkan pandangannya. Aku tidak ingin rena tau tentang kejadian semalam.
“kok gue cari lo nggak ada? Gue juga bangun pagi kok. Eh tapi tampang lo kok kayak orang baru bangun tidur? Rain mana?” tanya rena penuh selidik.
“pas bangun gue liat rain batuk gitu, yaudah deh gue kasih obat dia. Belom sempet cuci muka, sikat gigi, sisiran, gue beliin dia obat di warung yang udah buka. Abis batuknya parah banget sih” jawabku asal dan menghindar dari kontak mata dengan rena.
“oh,” hatiku sedikit lega karena rena tidak lagi bertanya. “eh sher, gue pulang duluan ya. riko ngajakin gue pergi. Lo nggak apa-apa kan gue tinggal cantik? Atau lo mau ikut?” dia mengerlingkan matanya meminta persetujuan. Aku hanya menggeleng pasrah. “nggak deh ren lo berdua aja” Baru saja aku menggeleng rain datang dengan sedikit lemas.
“kenapa kalian tidak membangunkanku?” rain berjalan malas dan menarik kursi di sebelahku.
“kan lo sakit, kata si sherin lo batuk harusnya lo tuh masih tidur sekarang” tembak rena.
“batuk?” rain mengerutkan kening. Ia menoleh ke arahku dan mengerti. “sudah membaik”
“oh. Eh gue pulang ya.” rena beranjak dari kursinya. Ternyata dia sudah rapi sedari tadi. Aku hanya mengangguk dan membiarkan dia berlalu pergi. Rain menoleh padaku dan mengerutkan kening.
“mau nge-date dia”
“oh” otakku kembali mengingatkan tentang kejadian semalam.
“rain, maaf ya untuk semalam”
“tidak apa. Aku bisa mengerti. Aku juga pernah mengalami kehilangan” jawabnya singkat sembari mengambil roti.
“kenapa kamu tegar?”
“karena aku menyadari semua yang ada di dunia ini akan kembali kepada-Nya. Merasa kehilangan memang perih tetapi jika tidak merasakan, itu bukanlah yang dinamakan hidup” katanya tenang lalu tersenyum kepadaku. “hidup itu harus dirasakan” lanjutnya. Aku tersenyum seolah ikut merasakan arti makna apa yang diucapnya.
***
Mobil rain berhenti tepat di samping taman. Siang ini aku dan rain akan piknik di taman dekat rumah sakit. Kami memilih tempat ini karena memang cukup ramai dan ini tempat favorit rain katanya. Di tempat itu rain menyendiri sehingga tidak ada orang lain yang bisa melihat. Maka, di tempat ini ada tempat khusus rain. Bukan khusus dalam arti kata rain membeli tempat itu dan tidak ada yang boleh mengunjunginya tetapi dalam arti tempat favoritnya. Memang terlihat memojok tetapi hanya itu tempat yang paling tidak di minati pengunjung, kecuali rain.
Aku merapikan rok sma ku sebelum duduk di rumput. Dengan sigap rain mencegahnya. “ini” ia menyerahkan karpet plastik untuk segera ku rentangkan. Memang nyatanya karpet itu cukup besar. Mungkin jika ada rena dan riko ini masih ada sisa. Aku bergegas duduk di atasnya. Tiba-tiba cuaca serasa sangat tidak bersahabat. Kami acuhkan saja dan akhirnya rintik-rintik hujan jatuh dan hujan deras menghujani kami. Aku berdiri untuk segera mencari tempat berteduh. Tapi rain tidak. Ia justru merentangkan tangannya dan tersenyum puas. Wajahnya bahagia sekali. Ia tersenyum padaku dan berkata “kemarilah, mari kita rasakan yang namanya hidup”. Aku tertawa dan berlari menghampirinya. Sunnguh seperti anak kecil rain itu. Ia menggandeng tanganku dan kami berputar-putar di bawah derasnya hujan. Aku sama sekali tidak malu, tidak ada orang di sekitar kami. aku merasakan hal yang luar biasa, ini pertama kalinya dalam hidupku bersenang-senang seperti ini. Getaran yang berbeda terus menerus terasa olehku. Aku yakin aku menyukainya. Tidak, aku sangat menyukainya.
Rain merangkul pundakku untuk menepi. Aku tersenyum padanya.
“rain, bisa nggak kita ngelakuin ini setiap hari?”
“apapun yang bisa membuatmu bahagia aku akan mencobanya”
“boleh aku jujur padamu?” hatiku terasa tidak karuan. Detakan jantungku semakin cepat.
“apa? Katakan saja” suara rain setengah berteriak, derasnya air hujan membuat suara kami terdengar begitu kecil.
“ini susah”
“buat saja menjadi mudah” katanya menggoda.
“aku… aku.. menyukaimu rain. Maukah kamu menjadi hujanku?” kata-kata itu terucap tanpa aku sadari. Rasanya tidak ingin dipendam cukup lama ingin sekali kata-kata itu keluar pada orang yang tepat.
“maafkan aku sherin” ia melepaskan rangkulannya di pundakku. Ia mundur semakin menjauh. Hatiku seperti terobek layaknya kain. “aku tidak bisa menjadi hujanmu. Tapi aku berusaha untuk menjadi peneduhmu” katanya kemudian. Aku segera berlari menghampirinya. Rain merentangkan tangannya lebar-lebar. Hatiku kini telah terjait tak ada celah. Ia memelukku seperti waktu aku menangis dalam pundaknya.
“aku menyukaimu rain”
“kau tahu aku merasakan hal yang sama? Aku akan disini selamanyaa…”
The End part one
To be continue…
